Oleh Prie GS..
Puasa kali ini saya sambut dengan perasaan masgul dan pesimistis. Dugaan saya, betapapun saya nanti bisa merampungkan puasa sebulan penuh, ibadah ini pasti akan sia-sia belaka. Hanya akan memperoleh lapar dan dahaga.
Kegalauan ini datang dari pohon mangga di depan rumah yang pada bulan ini begitu lebat buahnya. Musim buah pertama bagi pohon yang kami tanam sejak bibit ini. Sejak kecil ia kami sirami sepenuh hati, pertumbuhannya kami cermati. Jika telah tambah ranting dan pupusnya, giranglah hati kami. Ketika ia mulai rimbun dan beranjak dewasa teganglah penantian kami, kapankah dia berbunga seperti pohon pendahulu, milik para tetangga kami.
Maka ketika musim bunga pertama tiba, giranglah hati kami. Tapi ketika angin dan hujan merontokkannya, kami sekeluarga patah hati. Beberapa kali ia berbunga, beberapa kali pula ia menggugurkannya kembali. Maka ketika musim ini bunga-bunga itu menguat, berkembang menjadi buah, kami dilanda kegembiraan sedemikian rupa.
Di pagi hari, mangga-mangga yang bergelayutan itu menjadi pemandangan pertama kami. Di siang hari, mereka kami kontrol kembali. Di sore dan malam hari, kami selalu tegang jika terdengar buah jatuh. Esok harinya, akan kami cek dengan teliti dari titik mana kejatuhan tadi berasal. Dari waktu ke waktu perkembangan buah ini kami cermati. Komposisi buah ini telah menyatu dengan imajinasi kami. Maka jika ada yang salah, hilang atau berkurang, ia akan segera tampak ganjil di mata kami.
Kini buah-buah itu telah membesar dan menua. Tetangga kanan-kiri mulai terprovokasi untuk mengagumi, sekadar menggoda atau malah terang-terangan meminta jika waktunya tiba nanti. Jika anak-anak bermain di depan rumah, muka mereka selalu tengadah dan ribut mengomentari. Hari-hari kemudian, menjadi begitu menegangkan.
Tegang karena kami harus segera membuat keputusan. Mangga-mangga ini sudah layak dipanen, tetangga kanan-kiri sudah saatnya diberi. Mangga kami telah kelewat populer untuk tidak dibagi dan jumlahnya kelewat banyak untuk dimakan sendiri.
Tapi para tetangga itu tak pernah tahu, betapa kami tak pernah bisa memanen dalam arti sesungguhnya. Saya selalu tidak tega untuk memetik mangga-mangga itu sebelum benar-benar matang di tangkainya. Akibatnya sungguh dramatis. Mangga-mangga itu menjadi terlalu betah di pohon. Begitu kedapatan ada sebuah saja yang matang, kami sekelurga begitu bergembira dan sibuk mengamankannya untuk kami makan sendiri. Adalah ide gila untuk memberikan buah yang proses pertumbuhannya kami rawat seperti bayi ini, kepada tetangga begitu saja.
Cara kami menikmati buah ini, sungguh, tidak cuma dengan kegembiraan seseorang yang tengah memanen tanaman sendiri, tapi juga ditambah dendam kami pada banyak pedagang buah yang makin tidak jujur, yang selalu memetik buahnya sebelum umur. Sungguh, kami telah kenyang menelan kecawa karena ulah mereka. Jadi wajar jika kami lupa pada tetangga.
Maka kami kaget sendiri ketika makin lama mangga di depan rumah ini menipis dan nyaris habis kami makan sendiri. Saya dan istri cuma bisa saling pandang. "Tetangga belum ada seorang pun yang diberi," katanya. Saya cuma bisa terdiam dan malu. Jika terhadap buah mangga saja kami masih pelit begini, lalu apa jadinya jika Tuhan menguji kami dengan ujian yang lebih serius?
Sebagai penghibur hati, istri menawarkan usul praktis yang segera saya setujui. "Kita beli mangga di pasar, anggap hasil panen sendiri dan nanti kita bagi-bagi," katanya. Aku mengangguk, pura-pura gembira. Tapi jauh di lubuk hati, sulit untuk mengingkari aib ini. Ternyata perjalanan spiritual saya masih sebatas itu saja, tertahan di pohon mangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar